Share this article

  1. PENGANTAR

Modul Life Stage 2 ini adalah lanjutan dari Modul Life Stage 1 yakni program perkembangan anak oleh ChildFund International di Indonesia dan mengangkat judul “Pengasuhan Positif” yang dimana pengasuhan positif itu sendiri adalah ketrampilan dan tanggung jawab orangtua dalam mendidik, merawat, serta membangun hubungan yang kuat dengan anak agar anak dapat mengembangkan sifat-sifat positif. Bab kedua buku ini adalah “Rumah Bukanlah Rumah Jika Tanpa Kasih Sayang”. Buku ini terdiri dari 3 sub bab dan 19 materi  yakni sebagai berikut :

  1. Pengetahuan dan Ketrampilan Pengasuhan Positif
  2. Arti Pengasuhan  dan Arti Anak
  3. Tujuan Jangka Panjang dan Pendek Dalam Pengasuhan
  4. Memahami Siapa Saya dan Siapa Anak Saya
  5. Memahami Pikiran dan Perasaan Anak Usia 6-10 Tahun
  6. Memahami Pikiran dan Perasaan Anak Usia 11-14 Tahun
  7. Memahami Perkembangan Psikososial Anak
  8. Memahami Beragam Pola Pengasuhan
  9. Memahami Area Masalah Orang Tua dan Anak
  10. Mengenal Kecerdasan Emosi
  11. Komunikasi Efektif Dengan Anak
  12. Membentuk Komunikasi Efektif Melalui Ketrampilan Mendengarkan Aktif (1)
  13. Membentuk Komunikasi Efektif Melalui Ketrampilan Mendengarkan Aktif (2)
  14. Mengembangkan Disiplin Positif Dalam Keluarga
  15. Kesejahteraan Mental Orangtua / Pengasuh Utama
  16. Menghilangkan Pikiran Negatif Untuk Kesejahteraan Diri
  17. Rumah Aman dan Pengurangan Risiko Bencana
  18. Rumah Aman Untuk Anak Kita
  19. Rencana Keluarga Dalam Keadaan Darurat
  20. Mengenal Beragam Bencana Alam
  21. Perlindungan Anak Dalam Keluarga
  22. Memahami Hak-hak Anak
  23. Memahami Pentingnya Partisipasi Anak
  24. Memahami Ancaman Kekerasan Terhadap Anak

BAB 1

PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN PENGASUHAN POSITIF

  1. ARTI PENGASUHAN DAN ARTI ANAK

Pengasuhan responsif atau pengasuhan positif adalah keterampilan dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik, merawat, serta membangun hubungan yang kuat dengan anak agar anak dapat tumbuh dengan sifat-sifat positif, mandiri, sehat secara mental, serta siap menghadapi masa depan. Pengasuhan positif bukan pengasuhan yang sempurna, tapi pengasuhan yang tulus. Tulus menerima diri sendiri sebagai orang tua, tulus menerima perasaan anak, serta tulus dalam menyampaikan kebutuhan dan mendengarkan kebutuhan anak.

Kenapa pengasuhan positif penting? Karena tantangan yang kita hadapi dalam mendidik anak saat ini jauh lebih berat dibandingkan masa lalu. Orang tua harus bersaing dengan dampak teknologi, teman sebaya, dan lingkungan sekitar agar anak tetap peduli dan menghormati orang tua. Maka, kita sebagai orang tua harus berubah dulu agar anak-anak bisa tumbuh berkembang secara utuh.

Pesan penting dari puisi Kahlil Gibran “Anakmu Bukanlah Milikmu”:

  1. Anak lahir dari kita, tapi bukan milik kita.
  2. Mereka memiliki pikirannya sendiri.
  3. Kita hanya ibarat busur yang meluncurkan anak panah (anak-anak kita menuju masa depan mereka.
  4. Tugas kita adalah meluncurkan mereka dengan cinta, harapan, dan bimbingan terbaik.

Kita tidak bisa memaksa anak menjadi seperti yang kita mau, karena hidup tidak berjalan mundur. Kita sebagai orang tua yang harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Untuk membantu kita mendampingi pertumbuhan anak, kita mengenal 5 konsep pengasuhan yang disebut HPM5 (atau dikenal juga dengan RPM3):

  1. Responding (Merespon):

Memberikan tanggapan yang tepat atas kebutuhan, pertanyaan, atau perilaku anak. Anak perlu merasa didengar dan dihargai.

  • Preventing (Mencegah):

Mencegah anak berperilaku negatif dengan menciptakan lingkungan yang aman dan kebiasaan yang baik sejak dini.

  •  Monitoring (Memantau):

Mengawasi anak saat berinteraksi dengan lingkungan sekitar agar tidak terpengaruh hal buruk.

  •  Mentoring (Mendampingi):

Mendampingi proses belajar anak setiap hari, membantu membentuk kebiasaan baik dan karakter positif.

  • Modelling (Menjadi Contoh):

Menjadi teladan yang baik. Anak belajar bukan dari kata-kata kita, tapi dari apa yang mereka lihat dari perilaku kita sehari-hari.

Dengan 5 konsep ini, pengasuhan akan terasa lebih jelas arahnya, lebih terarah, dan lebih mudah dilakukan. Mulai sekarang, mari kita bersama-sama berubah, berproses, dan terus belajar agar bisa menjadi orang tua yang lebih baik demi masa depan anak-anak kita.

Inti utama dari materi ini yakni anak tidak belajar dari marah atau hukuman, tapi dari contoh, kasih sayang, komunikasi yang baik, dan konsistensi kita sebagai orang tua.

  • TUJUAN JANGKA PANJANG DAN PENDEK DALAM PENGASUHAN

Menjadi orang tua bukan hanya soal melahirkan atau membesarkan anak, tapi juga soal menjalankan peran dengan penuh tanggung jawab, cinta, dan kesadaran. Anak usia dini sedang berada di masa emas pertumbuhan dan perkembangan, sehingga orang tua memegang peranan paling penting dalam membentuk karakter, kecerdasan, serta masa depan anak.

Peran orang tua dalam pengasuhan sangat penting, karena orang tua adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Orang tua bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik anak, tetapi juga menjadi tempat belajar pertama tentang nilai-nilai kehidupan, kasih sayang, dan bagaimana menghadapi dunia. Kenapa ini penting? Karena anak belajar bukan dari kata-kata, tapi dari contoh nyata yang ditunjukkan oleh orang tua dalam kehidupan sehari-hari.

Prinsip penting yang harus selalu diingat:

  1. Anak lahir ibarat kertas putih. Orang tualah yang akan memberi warna pada kehidupannya.
  2. Anak belajar tentang cinta, kepercayaan diri, kesabaran, dan tanggung jawab melalui interaksi sehari-hari bersama orang tua.
  3. Maka, agar anak tumbuh dengan baik, orang tua tidak boleh berhenti belajar dan memperbaiki diri.

Untuk membantu kita menjalankan peran ini, kita mengenal 4 Peran Penting Orang Tua dalam pengasuhan:

  1. Sebagai Pemberi Kasih Sayang dan Rasa Aman: Anak butuh merasa dicintai agar tumbuh percaya diri dan berani bereksplorasi.
  2. Sebagai Pengasuh yang Memenuhi Kebutuhan Anak: Memberikan makanan bergizi, menjaga kesehatan, dan memastikan anak hidup dalam lingkungan yang aman.
  3. Sebagai Pendidik Pertama dan Utama: Mengenalkan anak pada nilai-nilai baik, memberikan stimulasi sesuai usia, mendampingi proses belajar.
  4. Sebagai Teladan: Anak akan meniru perilaku orang tua. Oleh karena itu, orang tua perlu memberikan contoh perilaku positif setiap hari.

Dengan menjalankan peran ini secara konsisten, kita membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter baik, sehat, mandiri, dan siap menghadapi masa depannya. Sekarang, mari kita mulai berkomitmen menjadi orang tua yang lebih baik. Bukan karena kita sempurna, tapi karena kita mau terus belajar dan memperbaiki diri demi anak-anak kita.

Inti utama dari materi ini adalah anak belajar melalui contoh, cinta, komunikasi, dan kehadiran orang tuanya.

  • MEMAHAMI SIAPA SAYA DAN SIAPA ANAK SAYA

Pengasuhan bukan hanya soal bagaimana kita mengasuh anak, tapi juga bagaimana kita memahami siapa diri kita dan siapa anak kita. Karena salah satu penyebab konflik dalam pengasuhan justru sering muncul dari ketidakpahaman kita tentang diri sendiri dan anak kita.

Banyak konflik dengan anak terjadi bukan karena anak bandel, tapi karena kita belum sepenuhnya paham apa yang sedang anak butuhkan, rasakan, atau pikirkan. Kita juga mungkin belum sepenuhnya menyadari bahwa cara kita bersikap dan berbicara kepada anak sangat dipengaruhi oleh siapa kita sebenarnya. Cara kita dibesarkan dulu, pengalaman hidup, harapan, dan ketakutan kita semuanya mempengaruhi cara kita mengasuh anak. 3 kemungkinan kondisi yang sering terjadi dalam pengasuhan:

  1. Tidak mengenal diri sendiri dan tidak mengenal anak: Ini akan sering menimbulkan konflik, salah paham, bahkan jarak antara orang tua dan anak. Kita merasa marah atau kecewa kepada anak, padahal sumbernya dari diri kita sendiri yang belum tuntas memahami kebutuhan kita. Anak pun merasa tidak dipahami oleh orang tuanya.
  2. Mengenal diri sendiri tapi tidak mengenal anak: Kita tahu apa yang kita inginkan, tapi sering lupa bahwa anak adalah pribadi yang unik dengan kebutuhan yang mungkin berbeda dari keinginan kita. Ini bisa membuat kita menjadi orang tua yang terlalu menuntut atau kurang peka terhadap kebutuhan anak.
  3. Mengenal diri sendiri dan mengenal anak: Ini kondisi terbaik. Kita bisa membangun komunikasi yang lebih baik, menemukan cara agar kebutuhan kita sebagai orang tua tetap terpenuhi, sambil tetap menghormati kebutuhan, perasaan, dan keunikan anak. Hubungan pun jadi lebih hangat, lebih akrab, dan lebih saling menghargai.

Tahu nggak? Saat kita menemukan kesamaan antara diri kita dan anak, perasaan kita jadi lebih hangat. Kita lebih mudah memahami anak, lebih mudah memaafkan kekurangan anak, dan lebih terbuka untuk mencari solusi bersama. Jadi, kenalilah diri sendiri, kenalilah anak-anak kita, agar proses pengasuhan tidak terasa sebagai beban, tetapi menjadi proses kebersamaan yang penuh cinta.

Mulai sekarang, mari kita berkomitmen untuk lebih mengenal anak kita. Bukan karena kita orang tua yang sempurna, tapi karena kita adalah orang tua yang mau terus belajar dan berubah demi kebaikan mereka.

Inti utama dari materi ini adalah anak bukan musuh kita. Anak bukan orang asing. Anak adalah bagian dari hidup kita yang akan menemani kita tumbuh bersama sebagai manusia. Memahami siapa kita dan siapa anak kita bukan proses sekali jadi, melainkan proses seumur hidup. Kita terus belajar, anak juga terus tumbuh. Yang penting, kita mau berusaha untuk saling mengenal lebih baik lagi.

  • MEMAHAMI PEMIKIRAN DAN PERASAAN ANAK USIA 6-10 TAHUN

Pengasuhan bukan hanya tentang apa yang kita ajarkan, tapi juga tentang bagaimana kita memahami siapa anak kita sebenarnya. Setiap anak terlahir unik, dengan sifat dan kecenderungan yang berbeda-beda. Kita tidak bisa memaksakan anak menjadi seperti yang kita inginkan, tapi kita bisa mendampingi anak sesuai dengan siapa dirinya.

Sifat anak bukanlah hasil pilihan mereka. Ada anak yang memang lebih aktif, ada yang lebih pendiam. Ada yang mudah beradaptasi, ada yang butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Semua sifat itu bukan baik atau buruk, melainkan unik dan khas. Perilaku anak sehari-hari sering kali dipengaruhi oleh sifat alaminya. Kalau kita tidak memahami sifat ini, kita bisa salah paham dan justru menyebut anak “nakal”, “tidak nurut”, atau “susah diatur”, padahal anak hanya menunjukkan siapa dirinya. Tantangan terbesar dalam pengasuhan sering kali bukan berasal dari sifat anak, tapi dari perbedaan sifat antara orang tua dan anak.

Contohnya:

  • Orang tua yang tenang dan suka di rumah , punya anak yang aktif dan suka bergerak. Kalau orang tua tidak memahami sifat anak, yang terjadi adalah bentrokan, anak sering dimarahi, dan orang tua merasa lelah sendiri.
  • Orang tua yang rapi dan teratur , punya anak yang spontan dan kurang suka rutinitas. Kalau tidak dipahami, akan mudah terjadi pertengkaran karena hal-hal sepele.
  • Tapi kalau kita sudah memahami perbedaan itu , kita bisa menyesuaikan cara berkomunikasi, mengatur aktivitas, dan memberikan arahan sesuai dengan kebutuhan anak.

Mengenali sifat anak membantu kita menemukan kekuatan mereka. Setiap anak punya kekuatan yang bisa dikembangkan, jika kita mau meluangkan waktu untuk mengenalinya. Mengenali sifat diri sendiri membantu kita memahami kenapa kita kadang merasa lelah, kesal, atau kecewa. Dan dari sana, kita bisa belajar untuk lebih sabar, lebih bijak, dan lebih adil terhadap anak.

Mulai sekarang, mari kita bangun kebiasaan untuk lebih sering mengamati, mendengarkan, dan menghargai anak. Karena dengan mengenali kekuatan anak, kita bisa menyiapkan mereka untuk menghadapi dunia dengan lebih percaya diri.

Inti utama dari materi ini adalah kita tidak bisa mengubah sifat dasar anak, tapi kita bisa membantu anak memahami dirinya sendiri. Kita tidak harus menjadi orang tua yang sempurna, tapi kita bisa menjadi orang tua yang lebih baik dengan mengenali diri sendiri dan anak. Pengasuhan yang baik bukan soal memaksa anak berubah, tapi soal menemani anak bertumbuh menjadi dirinya yang terbaik.

  • MEMAHAMI PEMIKIRAN DAN PERASAAN ANAK USIA 11-14 TAHUN

Usia 11–14 tahun adalah masa yang penuh perubahan bagi anak. Mereka bukan lagi anak-anak kecil, tapi juga belum sepenuhnya menjadi orang dewasa. Masa ini disebut sebagai masa pubertas, di mana terjadi perubahan besar dalam tubuh, pikiran, dan perasaan anak. Salah satu tantangan terbesar orangtua dalam mendampingi anak remaja adalah konflik. Kenapa? Karena orangtua dan anak mulai sering berbeda pendapat. Anak mulai berani punya pendapat sendiri, ingin mandiri, dan lebih banyak mendengarkan teman dibanding orangtuanya.

Ada 5 alasan utama kenapa konflik sering terjadi antara orangtua dan anak remaja:

  1. Anak ingin lebih mandiri, tapi orangtua khawatir anak belum siap mengambil keputusan sendiri.
  2. Perubahan fisik menyebabkan perubahan suasana hati, anak jadi mudah marah atau tersinggung.
  3. Anak lebih dekat dengan teman sebaya, lebih banyak meniru atau mengikuti apa yang dilakukan temannya.
  4. Anak mulai membentuk pemikiran sendiri, kadang bertentangan dengan orangtua.
  5. Orangtua sering merasa cemas, khawatir, takut kehilangan anak, dan takut anak terjerumus hal buruk.

Teman sebaya menjadi sumber dukungan penting bagi anak remaja, tapi juga bisa menjadi sumber pengaruh negatif. Oleh karena itu, tantangan terbesar orangtua adalah menjaga anak tetap aman, tanpa menghambat kemandirian mereka. Salah satu hal penting dalam masa pubertas adalah seksualitas. Anak perempuan mengalami menstruasi pertama, anak laki-laki mengalami mimpi basah. Ini adalah tanda fisik bahwa tubuh mereka sudah mulai matang secara seksual. Orangtua harus menjadi sumber informasi yang terpercaya untuk anak. Kalau orangtua diam atau malu membicarakan soal ini, anak justru akan mencari informasi dari teman, internet, atau sumber yang belum tentu benar.

Memberikan informasi tentang seksualitas tidak sama dengan mengajarkan hal yang buruk. Justru dengan informasi yang benar, anak bisa lebih menjaga diri dan lebih siap menghadapi perubahan tubuhnya. Yang terpenting, jangan hanya memberikan informasi, tapi juga ciptakan suasana komunikasi yang terbuka, nyaman, dan penuh kasih. Orangtua bukan hanya tempat bertanya, tapi juga tempat anak merasa aman dan diterima.

Intinya adalah anak kita sedang tumbuh menjadi manusia dewasa. Mereka butuh bimbingan, bukan hanya aturan. Tugas kita bukan hanya melindungi mereka dari hal-hal buruk, tapi juga membekali mereka agar kuat menghadapi tantangan zaman. Tidak perlu menjadi orangtua yang sempurna. Cukup jadi orangtua yang mau belajar, mau mendengarkan, dan selalu ada untuk anak.

  • MEMAHAMI PERKEMBNGAN PSIKOSOSIAL ANAK

Apa itu perkembangan psikososial? Ini adalah proses perkembangan anak yang melibatkan pikiran, perasaan, dan cara berhubungan dengan orang lain. Jadi, bukan hanya soal apa yang dipikirkan anak, tapi juga bagaimana anak merasakan sesuatu, dan bagaimana anak membangun hubungan sosialnya.

Ada 6 bagian penting dalam perkembangan psikososial anak:

  1.  Perkembangan konsep diri , bagaimana anak mulai mengenali siapa dirinya, apa yang dia suka, tidak suka, dan bagaimana perasaannya tentang dirinya sendiri.
  2. Perkembangan harga diri , bagaimana anak merasa berharga atau tidak berharga, biasanya dipengaruhi oleh kemampuan mereka melakukan sesuatu dan bagaimana respon lingkungan terhadap mereka.
  3. Perkembangan emosi/perasaan , anak mulai mengenali, mengungkapkan, dan mengelola perasaannya sendiri, serta mulai peka terhadap perasaan orang lain.
  4. Perkembangan perilaku prososial , bagaimana anak mulai belajar berbagi, membantu orang lain, dan hidup bersama dengan aturan sosial.
  5. Perubahan hubungan orangtua dan anak , hubungan dengan orangtua mulai berubah. Anak butuh lebih banyak ruang untuk mandiri, tapi tetap membutuhkan pendampingan.
  6. Pencarian identitas diri , khususnya pada usia 11–14 tahun, anak mulai berpikir tentang siapa aku, aku mau jadi apa, bahkan mulai membentuk cita-cita atau tujuan hidup.

Orangtua sering bertanya, “Kenapa anak saya sekarang sering melawan?”, “Kenapa dia lebih suka main dengan temannya daripada dengan keluarga?”, atau “Kenapa sekarang susah dinasihati?” Jawabannya: karena mereka sedang tumbuh dan belajar menemukan jati dirinya. Ini adalah proses yang wajar.

Perkembangan psikososial sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak di masa dewasa nanti. Kalau anak mendapat bimbingan yang tepat, mereka akan tumbuh jadi pribadi yang kuat, percaya diri, tahu apa yang mereka inginkan, dan bisa menjalin hubungan yang sehat dengan orang lain. Orangtua berperan penting dengan tidak mudah mengejek anak, tidak memaksakan kehendak, dan memberikan ruang aman untuk anak bisa bicara apa saja. Tidak semua anak langsung tahu apa yang mereka mau. Ada yang sudah jelas sejak kecil, ada juga yang bingung dan masih mencari. Yang paling penting bukan cepat atau lambatnya anak menemukan identitas dirinya, tapi bagaimana kita sebagai orangtua tetap ada untuk mendampingi dengan penuh cinta dan pengertian.

Pesan dari materi ini yaki menyadarkan kita bahwa perkembangan psikososial melibatkan jiwa, pikiran, perasaan, dan hubungan sosial anak. Inilah dasar pembentukan sifat-sifat baik anak di masa depan. Tugas orangtua adalah mendampingi, bukan memaksa; mendengarkan, bukan menyalahkan. Semoga dengan pemahaman ini, kita bisa lebih bijaksana dalam mendampingi anak-anak kita bertumbuh menjadi pribadi yang sehat lahir dan batin.

  • MEMAHAMI BERAGAM POLA PENGASUHAN

Selama ini, banyak orangtua menggunakan cara-cara pengasuhan yang hanya merespon situasi, tanpa pola yang konsisten. Misalnya, di satu waktu anak dianggap sudah besar untuk membantu, tapi di lain waktu anak dianggap masih kecil saat meminta izin pergi. Hal seperti ini bisa membuat anak bingung: sebenarnya orangtuanya maunya apa? Penting bagi orangtua untuk membedakan antara cara dan pola pengasuhan. Cara pengasuhan adalah metode atau langkah dalam menghadapi situasi tertentu, sedangkan pola pengasuhan adalah model yang konsisten yang menjadi dasar dalam mendidik anak.

Ada 4 pola pengasuhan utama yang biasa digunakan oleh orangtua:

  1. Otoriter , penuh aturan tapi kurang kasih sayang.
  2. Permisif , penuh kasih sayang tapi tanpa aturan yang jelas.
  3. Otoritatif , seimbang antara aturan yang jelas dan kasih sayang.
  4. Abai , minim aturan dan kurang perhatian.

Dari keempat pola ini, yang paling sesuai diterapkan untuk membangun pengasuhan positif adalah pola asuh otoritatif. Pola ini membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, percaya diri, dan bertanggung jawab, sekaligus tetap merasa disayangi.

Apa contohnya pengasuhan otoritatif?

  1. Memberikan pujian atas perilaku baik anak.
  2. Melibatkan anak dalam keputusan keluarga.
  3. Membuat aturan yang jelas beserta konsekuensinya.
  4. Menegur anak dengan tenang jika melanggar, tanpa mempermalukan.
  5. Jujur menyampaikan perasaan kita sebagai orangtua.
  6. Mengucapkan terima kasih, tolong, dan maaf kepada anak.
  7. Tetap menunjukkan kasih sayang tanpa syarat.

Yang paling penting, pola pengasuhan otoritatif membutuhkan kekompakan antar orangtua, contoh nyata dalam perilaku sehari-hari, dan konsistensi dalam menerapkannya.

Pesan dari materi ini adalah selama ini kita lebih sering menggunakan cara pengasuhan yang berubah-ubah tergantung situasi. Pola pengasuhan otoritatif adalah pilihan terbaik untuk membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang baik. Pengasuhan yang baik membutuhkan kekompakan, contoh, dan konsistensi dari orangtua. Dengan memahami hal ini, semoga kita sebagai orangtua bisa semakin bijaksana dalam mendampingi tumbuh kembang anak.

  • MEMAHAMI AREA MASALAH ORANGTUA DAN ANAK

Dalam pengasuhan sehari-hari, seringkali kita merasa bingung menghadapi berbagai masalah dengan anak. Padahal sebenarnya, semua masalah pengasuhan hanya berasal dari dua sumber utama yakni masalah yang bersumber pada anak dan masalah yang bersumber pada orangtua. Terdapat ciri-ciri masalah baik yang bersumber dari orang tua maupun dari anak :

  1. Ciri masalah yang bersumber pada anak: orangtua baik-baik saja, tapi anak yang merasakan masalah. Biasanya terlihat dari anak yang sedih, kecewa, atau takut, misalnya karena dipermalukan, dibandingkan, atau dipaksa melakukan sesuatu yang tidak disukainya.
  2. Ciri masalah yang bersumber pada orangtua: anak baik-baik saja, tapi orangtua yang merasa terganggu atau tidak nyaman. Biasanya muncul perasaan marah, kecewa, atau khawatir, misalnya karena anak terlalu lama bermain, atau nilai pelajaran tertentu kurang bagus.

Cara termudah menentukan area masalah adalah dengan bertanya pada diri sendiri, siapa yang baik-baik saja? Kalau orangtua yang baik-baik saja, masalah ada di anak. Kalau anak yang baik-baik saja, masalah ada di orangtua. Kenapa ini penting? Karena kalau kita tahu sumber masalahnya, kita bisa lebih mudah menentukan cara penyelesaiannya tanpa saling menyalahkan atau memaksakan kehendak.

Dalam menyelesaikan masalah, ada 3 cara yang umum terjadi:

  1. Saya menang – kamu kalah , semua keinginan orangtua harus dituruti, anak tidak boleh membantah.
  2. Saya kalah – kamu menang , orangtua mengalah terus demi menghindari pertengkaran.
  3. Saya menang – kamu menang , cara terbaik, di mana orangtua dan anak berdialog mencari solusi bersama agar kedua belah pihak merasa dihargai.

Kelas pengasuhan ini menjadi tempat aman bagi kita sebagai orangtua untuk saling berbagi pengalaman dan belajar bersama. Tidak ada orangtua yang sempurna, tapi semua bisa terus belajar menjadi lebih baik. Dan yang terpenting, kita tidak perlu merasa sendiri menghadapi masalah pengasuhan. Apa yang kita alami, bisa jadi juga dirasakan oleh orangtua lain. Dengan berdiskusi bersama, kita akan semakin kuat dan saling mendukung.

Pesan Kunci dalam materi ini yakni Semua masalah pengasuhan hanya bersumber dari dua pihak: anak atau orangtua. Cara paling baik menyelesaikan masalah adalah “saya menang – kamu menang”, dengan dialog untuk mencari kesepakatan bersama. Dengan komunikasi yang efektif dan disiplin positif, kita bisa menyelesaikan masalah tanpa saling melukai. Kelas pengasuhan ini adalah tempat kita belajar bersama, berbagi, dan saling mendukung sebagai orangtua. Semoga dengan pembelajaran hari ini, kita bisa lebih bijaksana dan tenang dalam menghadapi tantangan pengasuhan sehari-hari.

  • MENGENAL KECERDASAN EMOSI

Dalam proses tumbuh kembang, setiap anak tidak hanya butuh makan, minum, dan pendidikan. Ada tiga kebutuhan perasaan utama yang harus kita penuhi agar anak bisa berkembang optimal, yaitu:

  1. Perasaan aman , Anak merasa terlindungi secara fisik dan emosional.
  2. Perasaan diterima dan dicintai , Anak merasa dirinya berharga, diterima apa adanya tanpa syarat.
  3. Perasaan memiliki kendali atas hidupnya , Anak diberi ruang untuk mengambil keputusan sesuai usianya, agar belajar bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Sayangnya, kebutuhan ketiga ini sering tidak kita sadari. Kita sering mengatur semuanya demi alasan sayang, tapi justru membuat anak seperti robot yang tidak punya pilihan. Padahal anak adalah pribadi utuh yang punya dunia pikiran sendiri.

Agar bisa mendampingi anak lebih baik, kita perlu memahami beragam emosi yang ada. Tidak hanya emosi positif seperti senang atau bangga, tapi juga emosi negatif seperti marah, sedih, atau kecewa. Kecerdasan emosi adalah kemampuan mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri sendiri serta orang lain. Ini adalah bekal penting agar anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat, mandiri, dan mudah bergaul dengan orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosi lebih berperan dalam kesuksesan hidup dibandingkan kecerdasan intelektual (IQ). Maka sebagai orangtua, tugas kita bukan hanya membantu anak pintar secara akademik, tapi juga pintar dalam mengelola perasaan.

Dan jangan lupa, kita sendiri sebagai orangtua juga sedang belajar. Ada empat tahapan belajar yang sedang kita jalani:

  1. Tidak tahu bahwa tidak terampil
  2. Tahu bahwa tidak terampil
  3. Sadar sedang belajar menjadi terampil
  4. Tidak sadar sudah terampil

Kuncinya adalah proses dan latihan terus-menerus. Tidak ada orangtua yang langsung bisa. Yang penting mau belajar bersama. Anak butuh merasa aman, diterima dan dicintai, serta memiliki kontrol atas hidupnya.  Jangan jadikan anak sebagai robot. Beri ruang agar mereka belajar membuat keputusan sendiri. Kecerdasan emosi adalah bekal hidup anak agar mampu menghadapi tantangan dan berhubungan baik dengan orang lain. Kita semua sedang belajar menjadi orangtua yang lebih baik. Proses belajar tidak instan, tapi pasti. Semoga pembelajaran hari ini membuat kita lebih sadar pentingnya mengenali perasaan baik perasaan anak, maupun perasaan kita sendiri sebagai orangtua.

  1. KOMUNIKASI EFEKTIF DENGAN ANAK

Mengasuh anak usia 6-14 tahun seringkali memunculkan berbagai konflik. Salah satu penyebab utama konflik tersebut adalah hambatan dalam komunikasi antara orangtua dan anak. Pesan yang disampaikan orangtua tidak selalu diterima dengan baik oleh anak, dan pesan anak juga sering tidak dipahami oleh orangtua.

Perlu kita ingat, komunikasi adalah keterampilan yang bisa dipelajari dan dilatih. Bukan hanya soal pintar berbicara, tapi juga tentang kemampuan mendengar dengan penuh perhatian. Hambatan komunikasi bisa berasal dari dua sisi:

  1. Dari sisi anak , Karena otak anak masih berkembang, mereka butuh waktu untuk memahami pesan. Anak juga sering bingung jika mendengar larangan tanpa tahu apa yang seharusnya dilakukan.
  2. Dari sisi orangtua , Seringkali komunikasi hanya berupa nasihat satu arah, tanpa cek apakah anak benar-benar memahami. Kadang orangtua juga menyampaikan arahan panjang yang membingungkan.

Akibat hambatan komunikasi ini, sering muncul kekerasan verbal atau fisik yang justru membuat anak menjauh dan menutup diri. Semakin bertambah usia, anak bisa makin menjauh secara emosional dari orangtuanya. Agar komunikasi lebih efektif, orangtua bisa melakukan beberapa hal sederhana:

  1. Datangi anak, sebut namanya, lakukan kontak mata. Jangan berteriak dari jauh.
  2. Berikan arahan yang jelas dan sederhana. Misalnya: “Taruh mainanmu di kotak mainan, lalu rapikan bukumu.”
  3. Minta anak mengulang apa yang diminta orangtua. Ini untuk memastikan anak benar-benar paham.
  4. Gunakan lebih banyak pujian daripada makian. Dengan pujian, anak akan lebih mudah menerima arahan.
  5. Gunakan tiga kata ajaib: Tolong – Terima Kasih – Maaf. Ini bukan hanya sopan santun, tapi melatih anak untuk menghargai orang lain.

Dengan komunikasi yang efektif, hubungan orangtua dan anak akan lebih hangat. Anak akan tahu ke mana harus mencari dukungan ketika menghadapi masalah, yaitu kepada orangtuanya sendiri. Yang penting kita ingat adalah tidak ada orangtua yang langsung mahir. Semua keterampilan ini perlu dilatih terus menerus.

Hambatan komunikasi terjadi karena otak anak masih berkembang dan orangtua sering tidak mengecek pemahaman anak. Komunikasi yang baik dimulai dengan berbicara jelas, mendengar sungguh-sungguh, dan membangun rasa saling percaya. Gunakan lebih banyak pujian, sampaikan arahan sederhana, dan biasakan tiga kata ajaib dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan baik antara orangtua dan anak dibangun dari komunikasi yang saling menghargai. Semoga setelah sesi hari ini, kita semakin terampil membangun komunikasi yang efektif dengan anak, agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan dekat dengan orangtuanya.

  1. MEMBENTUK KOMUNIKASI EFEKTIF MELALUI KETERAMPILAN MENDENGARKAN AKTIF (1)

Setelah mengenali hambatan-hambatan komunikasi, hari ini kita belajar salah satu keterampilan penting dalam membangun komunikasi yang lebih baik dengan anak, yaitu mendengarkan aktif. Mendengarkan aktif berbeda dengan sekadar mendengar. Mendengarkan aktif melibatkan perhatian penuh, panca indera, bahasa tubuh, dan empati. Saat mendengarkan aktif, orangtua benar-benar berusaha memahami apa yang anak rasakan dan pikirkan, tanpa langsung memberi nasihat atau menyela.

Dalam mendengarkan aktif, anak menjadi pusat perhatian. Anak yang didengarkan akan merasa dihargai, didukung, dan lebih percaya diri dalam menghadapi masalah. Manfaat keterampilan mendengarkan aktif:

  1. Anak merasa didengar , tumbuh kepercayaan diri dan hubungan emosional yang lebih kuat.
  2. Anak belajar bertanggung jawab , orangtua tidak harus selalu memberi solusi, tapi mendampingi anak menemukan solusi sendiri.
  3. Mengurangi konflik , orangtua menjadi lebih tenang, anak lebih terbuka.

Siapapun bisa belajar keterampilan mendengarkan aktif, tidak tergantung pendidikan atau status sosial. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan untuk berlatih. Khusus untuk anak usia 6-14 tahun, keterampilan ini sangat penting karena di usia ini anak mulai mengalami berbagai tantangan sosial, emosi yang naik turun, serta mulai membangun identitas dirinya. Melalui mendengarkan aktif, orangtua membantu anak menghadapi tantangan tersebut, tanpa menghakimi, tanpa memaksakan solusi, tapi dengan penerimaan penuh. Dalam sesi latihan tadi, kita sudah mencoba mempraktikkan 5 keterampilan mendengarkan aktif. Jika dirasa sulit, latih secara bertahap, misalnya mulai dari mendengarkan dengan bahasa tubuh yang baik, lalu perlahan berlanjut ke keterampilan lainnya.

Yang paling penting adalah terus berlatih. Semakin sering dipraktikkan, semakin terbiasa. Mulailah dengan hal kecil setiap hari bersama anak. Mendengarkan aktif dengan menempatkan anak sebagai pusat perhatian, tanpa menghakimi. Keterampilan ini tidak instan tapi perlu waktu dan latihan. Penerimaan terhadap pikiran dan perasaan anak adalah kunci keberhasilan mendengarkan aktif. Ketika keterampilan ini dikuasai, hubungan orangtua-anak akan terasa seperti “surga kecil” dalam keluarga. Semoga setelah sesi hari ini, kita semakin siap menjadi pendengar terbaik untuk anak-anak kita. Dengan mendengarkan mereka sungguh-sungguh, kita sudah membantu mereka tumbuh menjadi pribadi yang kuat, percaya diri, dan penuh kasih.

  1. MEMBENTUK KOMUNIKASI EFEKTIF MELALUI KETERAMPILAN MENDENGARKAN AKTIF (2)

Selama dua pertemuan ini kita sudah belajar dan berlatih tentang keterampilan mendengarkan aktif. Keterampilan ini adalah salah satu kunci untuk membangun komunikasi yang lebih efektif dan penuh penghargaan dengan anak-anak kita. Mendengarkan aktif bukan hanya tentang diam dan mendengar, tetapi juga tentang membangun koneksi emosional dengan anak. Kita berusaha memahami apa yang anak katakan dan apa yang anak rasakan, tanpa menghakimi dan tanpa buru-buru memberi solusi.

Salah satu hal yang kita pelajari hari ini adalah pentingnya memiliki kosa kata yang beragam tentang perasaan. Anak-anak sering belum tahu bagaimana menggambarkan perasaan mereka, dan orangtua bisa membantu dengan memberikan contoh kata-kata perasaan.

Mengapa ini penting?

  1. Anak merasa lebih dipahami.
  2. Anak belajar mengenali dan menyampaikan perasaannya sendiri.
  3. Orangtua bisa membantu tanpa harus langsung menjadi “pemberi solusi”, tapi menjadi pendamping yang memahami.

Kita juga belajar berbagai kalimat pembuka untuk memulai mendengarkan aktif, misalnya:

  1. “Hal ini membuatmu merasa…”
  2. “Kamu khawatir bahwa…”
  3. “Bagian tersulit dari ini adalah…”

Kalimat-kalimat ini membantu kita memfokuskan perhatian pada perasaan anak sebelum beranjak ke solusi. Dengan begini, anak tidak merasa sendirian, dan mereka belajar mencari solusi sendiri dengan dukungan orangtuanya. Yang perlu kita ingat adalah keterampilan mendengarkan aktif ini tidak langsung mahir dalam sehari dua hari. Perlu latihan terus menerus, bahkan bukan hanya kepada anak, tapi juga bisa kepada pasangan, teman, atau orang lain di sekitar kita.

Perubahan itu proses. Setiap langkah kecil yang kita lakukan untuk mendengarkan anak lebih baik, akan membangun kepercayaan dan hubungan yang lebih kuat. Mendengarkan aktif sangat penting saat anak mengalami perasaan yang kuat atau sedang galau. Mengenali beragam perasaan membantu orangtua menjadi pendengar yang lebih cermat dan peka. Orangtua tidak harus selalu menjadi “pemberi solusi”. Dampingi anak untuk menemukan solusi sendiri. Setiap latihan mendengarkan aktif adalah investasi untuk membangun hubungan yang lebih kuat, saling percaya, dan penuh kasih dengan anak. Semoga setelah dua sesi ini, kita semakin percaya diri untuk menjadi pendengar terbaik bagi anak-anak kita.

  1. MENGEMBANGKAN DISIPLIN POSITIF DALAM KELUARGA

Hari ini kita sudah belajar dan berlatih tentang disiplin positif sebagai cara mendampingi tumbuh kembang anak dengan penuh penghargaan, tanpa ancaman atau hukuman. Disiplin positif membantu anak membangun kebiasaan baik karena sadar, bukan karena takut. Apa itu disiplin positif? Disiplin positif adalah proses membentuk kebiasaan baik melalui aturan yang positif. Berbeda dengan disiplin negatif yang didasari oleh ancaman, hukuman, atau paksaan.

Dalam praktiknya, orangtua perlu:

  1. Membuat aturan positif bersama anak.
  2. Menggunakan konsekuensi alami dan konsekuensi logis ketika anak melakukan kesalahan.
  3. Menggunakan keterampilan mendengarkan aktif agar bisa memahami alasan di balik perilaku anak.

Mengapa penting?

  1. Membantu anak bertanggung jawab atas pilihannya.
  2. Mengembangkan rasa percaya diri dan kepercayaan pada orangtua.
  3. Membangun hubungan yang lebih positif, bukan hubungan yang penuh dengan ketegangan atau konflik.

Apa yang perlu dihindari?

  1. Jangan bertengkar dengan anak karena itu justru menurunkan posisi orangtua setara dengan anak (DOWN GRADE).
  2.  Jangan adu argumen ketika emosi masih tinggi.
  3. Jangan mudah terpancing oleh respon negatif anak.

Perubahan butuh waktu. Tidak mungkin langsung sempurna. Perlu latihan dan konsistensi agar perubahan perilaku benar-benar berhasil. Kalau orangtua kembali ke pola lama, perubahan pun bisa gagal.

Ingat selalu Empat Hak Dasar Anak:

  1. Hak untuk hidup
  2. Hak untuk tumbuh kembang
  3. Hak untuk mendapat perlindungan
  4. Hak untuk berpartisipasi

Disiplin positif adalah bentuk perlindungan bagi anak, agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan memiliki harga diri yang kuat. Disiplin positif membantu anak belajar bertanggung jawab atas pilihannya, bukan takut pada hukuman. Gunakan konsekuensi logis, bukan ancaman. Hindari bertengkar dengan anak dan tetaplah menjadi contoh yang dewasa. Perubahan butuh waktu dan konsistensi. Satu minggu konsisten, lalu kembali ke kebiasaan lama, artinya perubahan tidak akan terjadi. Kesejahteraan orangtua adalah pondasi kesejahteraan anak.

BAB 2

KESEJAHTERAAN MENTAL ORANGTUA/PENGASUH UTAMA

  1. MENGHILANGKAN PIKIRAN NEGATIF UNTUK KESEJAHTERAAN DIRI

Hari ini kita belajar bahwa kesejahteraan jiwa orangtua adalah pondasi utama dalam memberikan pengasuhan positif. Jika jiwa orangtua tidak tenang, penuh beban, dan dipenuhi pikiran negatif, maka sulit bagi kita memberikan pengasuhan yang sehat dan menyejahterakan anak. Kita tidak bisa menuangkan dari gelas yang kosong. Maka, sebelum bisa mendampingi anak, orangtua harus lebih dulu menolong dirinya sendiri. Ibarat masker oksigen di pesawat, orangtua harus memakai masker dulu, baru bisa membantu anaknya. Begitu juga dengan pengasuhan, kita harus menyembuhkan dan menenangkan diri sendiri agar bisa mendampingi anak dengan baik.

Pikiran negatif seringkali muncul tanpa kita sadari. Pikiran-pikiran inilah yang bisa menghancurkan ketenangan jiwa kita, seperti:

  1. Pikiran selalu menyalahkan diri sendiri
  2. Pikiran bahwa kita harus sempurna
  3. Pikiran merasa selalu gagal
  4. Pikiran bahwa kita bisa mengubah orang lain sesuai keinginan kita

Hari ini kita belajar 10 jenis pikiran negatif yang sering tanpa sadar kita pelihara. Kita juga belajar 7 langkah terapi pikiran (terapi kognitif) untuk membantu mengurangi pikiran negatif tersebut. Apa yang perlu kita pahami?

  1. Emosi negatif muncul karena perintah pikiran. Maka yang perlu diperbaiki terlebih dahulu adalah cara berpikir kita.
  2. Kita tidak bisa mengontrol orang lain bahkan anak kita sendiri. Yang bisa kita kendalikan adalah pikiran, sikap, dan usaha kita sendiri.
  3. Tugas kita adalah berusaha, hasilnya kita serahkan pada Tuhan. Mengharapkan semuanya sesuai keinginan kita hanya akan menambah beban pikiran.

Dengan melatih pikiran positif, kita bukan hanya menjaga diri agar tetap tenang, tetapi juga menyiapkan diri untuk menjadi orangtua yang lebih sabar dan penuh kasih. Pertemuan berikutnya, kita akan belajar latihan relaksasi sederhana untuk membantu meredakan emosi negatif. Namun, latihan tersebut akan lebih efektif jika kita sudah mulai melatih cara berpikir yang lebih sehat sejak sekarang. Pikiran adalah panglima bagi emosi kita. Emosi negatif atau positif muncul karena perintah dari pikiran. Kita tidak bisa mengubah orang lain, tapi kita bisa mengubah cara kita berpikir dan merespon. Setiap masalah yang kita hadapi adalah cara Tuhan untuk mendidik kita agar berkembang. Orangtua yang tenang = Anak yang tumbuh dengan damai dan penuh cinta.

BAB 3

RUMAH AMAN DAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA

  1. RUMAH AMAN UNTUK ANAK KITA

Hari ini kita belajar bersama tentang pentingnya menciptakan rumah yang aman untuk anak-anak kita. Rumah memang tempat utama anak tumbuh, bermain, dan belajar karena itu sangat penting memastikan rumah menjadi tempat yang nyaman sekaligus aman. Rumah aman bukan berarti harus besar, mewah, atau mahal, tapi rumah yang bisa mengurangi risiko kecelakaan dan bahaya, terutama bagi anak-anak yang masih aktif dan penasaran.

Dalam diskusi, kita sudah mengenali bersama beberapa risiko bahaya yang sering terjadi di rumah, seperti:

  1. Stop kontak atau saklar di tempat yang berbahaya
  2. Material rumah yang licin atau tajam
  3. Penyimpanan bahan kimia yang tidak aman
  4. Tangga atau meja yang tidak ada pelindungnya
  5. Pintu yang arahnya tidak tepat untuk evakuasi

Kita juga telah mengenali faktor-faktor pendukung keamanan rumah, antara lain:

  1. Pilihan material lantai yang tidak licin
  2. Stop kontak dan kabel listrik yang aman
  3. Pengamanan di ujung tangga dan ujung meja
  4. Kotak P3K untuk keadaan darurat
  5. Penyimpanan bahan kimia di tempat khusus, serta memberikan penjelasan kepada anak tentang bahayanya
  6. Pintu utama mengarah ke luar, pintu kamar mandi mengarah ke dalam

Hal yang tidak kalah penting: libatkan anak dalam memahami bahaya di sekitar rumah. Bukan untuk menakuti, tapi untuk membangun kesadaran sejak dini agar anak tahu mana yang boleh disentuh dan mana yang berbahaya. Ingat, mencegah lebih baik daripada mengobati. Banyak kecelakaan di rumah terjadi karena kita menganggap sepele hal-hal kecil. Rumah yang aman akan membantu anak tumbuh dengan lebih nyaman, bebas bermain, dan belajar tanpa banyak risiko.

Rumah yang aman bukan soal kemewahan, tapi soal kesadaran dan kepedulian terhadap keselamatan anak. Jadikan rumah sebagai tempat yang bukan hanya menyenangkan, tapi juga melindungi dan mendukung tumbuh kembang anak. Ajari anak memahami risiko dengan bahasa yang sederhana agar mereka juga bisa menjaga diri. Semoga setelah sesi ini, kita bisa mulai mengecek kondisi rumah masing-masing, memperbaiki hal-hal kecil yang berisiko, dan menjadikan rumah tempat yang lebih aman untuk seluruh anggota keluarga.

  • RENCANA KELUARGA DALAM KEADAAN DARURAT

Pada sesi hari ini, kita telah belajar pentingnya memiliki rencana keluarga dalam menghadapi keadaan darurat. Bencana alam memang sering datang tiba-tiba dan sulit dihindari, tetapi kita bisa mengurangi dampaknya dengan memiliki perencanaan yang baik di tingkat keluarga.

Kita tadi sudah mendiskusikan berbagai jenis bencana alam yang sering terjadi di sekitar kita, seperti:

  1. Gempa bumi
  2. Banjir
  3. Kebakaran
  4. Gunung meletus
  5. Tsunami
  6. Tanah longsor
  7. Kekeringan

Kita juga mengenali akibat-akibat dari bencana alam, seperti kehilangan harta benda, kerusakan rumah, terganggunya kebutuhan sehari-hari, bahkan ancaman terhadap keselamatan jiwa. Karena itu setiap keluarga sebaiknya memiliki rencana menghadapi keadaan darurat, agar seluruh anggota keluarga tahu apa yang harus dilakukan saat bencana terjadi.

Beberapa hal penting yang harus disiapkan keluarga:

  1. Dokumen penting difotokopi dan dilaminasi, disimpan di tempat aman.
  2. Persediaan makanan dan obat-obatan (P3K) untuk kebutuhan darurat.
  3. Pengaturan posisi barang-barang rumah tangga agar aman dari risiko banjir, gempa, atau kebakaran.
  4. Mencatat nomor-nomor penting dan jalur evakuasi.
  5. Bekerjasama dengan tetangga untuk membuat rencana evakuasi bersama jika di lingkungan belum ada jalur evakuasi resmi.

Yang terpenting: seluruh anggota keluarga harus tahu rencana ini. Anak-anak pun perlu tahu jalur evakuasi atau di mana tempat aman untuk berkumpul. Mempersiapkan diri bukan berarti berharap terjadi bencana, tapi bentuk tanggung jawab kita sebagai orangtua untuk melindungi keluarga. Bencana tidak bisa kita tolak, tapi dampaknya bisa kita kurangi dengan persiapan yang matang. Seluruh anggota keluarga perlu tahu apa yang harus dilakukan saat keadaan darurat terjadi. Persiapan sejak sekarang akan membuat kita lebih tenang dan siap dalam menghadapi situasi darurat.Semoga setelah sesi ini, kita semua bisa mulai menyusun rencana keluarga dalam keadaan darurat di rumah masing-masing, demi keselamatan keluarga kita.

  • MENGENAL BERAGAM BENCANA ALAM\

Hari ini kita sudah belajar bersama tentang beragam jenis bencana alam dan bagaimana cara meresponnya dengan tepat. Tujuannya agar kita lebih siap menghadapi bencana alam dan dapat mengurangi risiko kerugian yang bisa terjadi pada keluarga.

Beberapa jenis bencana alam yang sudah kita bahas:

  1. Banjir
  2. Gunung Meletus
  3. Gempa Bumi
  4. Tsunami
  5. Angin Puting Beliung
  6. Tanah Longsor

Untuk setiap jenis bencana, kita harus tahu 3 hal penting:

  1. Apa yang harus dilakukan sebelum bencana terjadi (persiapan)
  2. Apa yang harus dilakukan saat bencana terjadi (respon cepat & tepat)
  3. Apa yang harus dilakukan setelah bencana terjadi (pemulihan & keselamatan)

Beberapa contoh hal yang harus dilakukan saat bencana:

  1. Segera mengungsi ke tempat yang aman jika ada tanda-tanda bencana.
  2. Matikan aliran listrik saat terjadi banjir atau angin kencang.
  3. Gunakan masker saat terjadi hujan abu vulkanik.
  4. Segera naik ke tempat tinggi jika terjadi tsunami.
  5. Jangan berlindung di bawah pohon atau tiang listrik saat terjadi angin puting beliung.
  6. Jauhi tebing atau lereng curam jika ada tanda-tanda tanah longsor.

Sementara itu, beberapa hal yang tidak boleh dilakukan saat bencana:

  1. Jangan menunggu sampai keadaan semakin buruk sebelum mengungsi.
  2. Jangan berada di dekat saluran air saat banjir.
  3. Jangan berkendara di wilayah yang tertutup abu vulkanik.
  4. Jangan kembali ke daerah rawan tsunami sebelum ada kepastian aman.
  5. Jangan berlindung di tempat yang mudah roboh saat gempa.

Bencana tidak bisa dicegah, tapi kita bisa mengurangi dampaknya. Ketahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan agar kita bisa menjaga keselamatan diri dan keluarga. Lebih baik siap sebelum bencana terjadi, daripada menyesal setelahnya.

BAB 4

PERLINDUNGAN ANAK DALAM KELUARGA

  1. MEMAHAMI HAK-HAK ANAK

Semua Anak Memiliki Hak Setiap anak berhak dihormati, dilindungi, dan dipenuhi kebutuhannya tanpa diskriminasi apapun, baik itu suku, agama, warna kulit, kondisi ekonomi, atau disabilitas. Hak Asasi Anak diakui oleh dunia melalui Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1989 dan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Perlindungan Anak. Orang tua punya peran utama untuk memastikan semua hak anak dipenuhi.

Hak Anak yang Dijamin oleh KHA yakni:

  1. Hak Hidup, Tumbuh, dan Berkembang
  2. Hak atas makanan, tempat tinggal, dan air bersih
  3. Hak atas pendidikan dan kesehatan
  4. Hak untuk bermain dan berkreasi
  5. Hak untuk mendapat informasi
  6. Hak atas perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan brutal
  7. Hak Partisipasi, yaitu didengar pendapatnya dalam hal-hal yang berdampak pada kehidupan mereka

Prinsip-prinsip Hak Anak :

  1. Non-Diskriminasi
  2. Kelangsungan Hidup dan Perkembangan
  3. Kepentingan Terbaik bagi Anak
  4. Penghargaan terhadap Pendapat Anak

Partisipasi Anak dalam Konvensi Hak Anak (KHA) Pasal 12 “Anak berhak menyampaikan pendapat dalam semua hal yang memengaruhi kehidupannya.” Pasal 13 “Anak bebas berekspresi dan menyampaikan informasi dengan cara yang mereka pilih.” , Pasal 15 “Anak berhak berkumpul dan berserikat secara damai.” , Pasal 17 “Anak berhak mendapatkan informasi yang sehat dan bermanfaat dari berbagai sumber media.”

Tekanan Utama bagi Orang Tua dan Pengasuh:

  1. Dalam pengasuhan positif, orang tua harus menghormati dan mendengarkan pendapat anak.
  2. Anak harus aktif dilibatkan dalam proses belajar, bermain, dan mengambil keputusan yang berdampak bagi dirinya.

Anak bukan hanya penerima kasih sayang, tetapi juga pemilik hak-haknya sendiri. Anak harus dipandang sebagai individu yang memiliki pendapat, suara, dan hak untuk dihargai.

  • MEMAHAMI PENTINGNYA PARTISIPASI ANAK

Apa Itu Partisipasi Anak? Partisipasi anak adalah keterlibatan anak dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan hidup mereka sendiri, baik langsung maupun tidak langsung, dengan persetujuan dan kesadaran anak. Partisipasi merupakan hak dasar bagi setiap warga negara, termasuk anak-anak.

Ruang Lingkup Partisipasi Anak

  1. Di Keluarga , Anak didengarkan pendapatnya dalam aturan atau keputusan keluarga.
  2. Di Sekolah , Anak diajak berdiskusi saat membuat peraturan sekolah.
  3. Di Masyarakat , Anak dilibatkan dalam kegiatan sosial sesuai usia dan kapasitasnya.
  4. Dalam Pemerintahan , Anak diberikan ruang menyampaikan ide dalam program yang terkait dengan anak.

Mengapa Partisipasi Anak Penting?

  1. Anak paham persoalan di sekitarnya
  2. Meningkatkan harga diri & percaya diri anak
  3. Mengembangkan bakat & kemampuan memecahkan masalah
  4. Anak belajar kerjasama & tanggung jawab
  5. Penting untuk ketahanan diri (resilience) anak menghadapi situasi sulit
  6. Membantu membangun sistem perlindungan diri anak dari situasi berisiko

Prinsip Partisipasi Anak dalam Keluarga

  1. Informasi jelas, tanpa paksaan , Orang tua berdiskusi dengan anak, bukan memaksakan pilihan.
  2. Non Diskriminasi , Semua anak diperlakukan sama, tanpa membedakan gender, anak pertama/terakhir, dll.
  3. Keselamatan & Perlindungan , Anak dilibatkan dengan tetap menjaga keamanan, tidak boleh membahayakan anak.

Contoh Partisipasi Anak yang Positif :

  1. Dalam keluarga:
  2. Memilih makanan & pakaian
  3. Ikut dalam diskusi sederhana di rumah
  4. Memimpin doa atau ibadah
  5. Memilih hobi
  6. Mengungkapkan pendapat, didengarkan
  7. Ikut menentukan kegiatan keluarga
  8. Membantu pekerjaan rumah sesuai usia
  • Di masyarakat:
  • Bebas berpendapat & dihargai
  • Ikut kegiatan sosial
  • Terlibat dalam musyawarah desa terkait anak
  • Memberikan masukan dalam penyusunan anggaran untuk anak
  • Berkumpul & bermain dengan teman sebaya
  • Mengembangkan bakat bersama lingkungan

Anak bukan hanya pendengar, tapi juga harus jadi pelaku aktif dalam keputusan yang berdampak untuk hidupnya. Orangtua harus belajar mendengarkan dengan sungguh-sungguh, menghargai, dan melibatkan anak secara setara.

  • MEMAHAMI ANCAMAN KEKERASAN TERHADAP ANAK

Apa Itu Hak Perlindungan Anak? Hak Perlindungan Anak adalah segala upaya mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak dalam bentuk fisik, emosional, seksual, penelantaran, eksploitasi, atau tindakan brutal lainnya yang membahayakan hidup anak.

Apa Itu Kekerasan Terhadap Anak? Kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan yang dapat membahayakan kesehatan fisik, mental, perkembangan, dan martabat anak. Kekerasan dapat terjadi di rumah, sekolah, masyarakat, tempat umum, bahkan dunia online.

Bentuk-Bentuk Kekerasan Anak :

  1.  Kekerasan Fisik , Pemukulan, tendangan, bakar, cubit, bentak, bahkan hukuman fisik yang bertujuan menyakitkan.
  2. Kekerasan Emosional , Menghina, merendahkan, intimidasi, pengucilan, bentakan terus menerus.
  3. Kekerasan Seksual , Sentuhan tidak senonoh, pemaksaan seksual, pornografi anak, perkawinan usia anak, perbudakan seksual.
  4. Penelantaran , Tidak memenuhi kebutuhan dasar anak: makan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan.
  5. Eksploitasi Seksual , Menggunakan anak untuk mendapatkan uang/hadiah/status dengan memanfaatkan anak secara seksual.
  6. Perundungan (Bullying) , Kekerasan fisik/verbal/psikologis berulang oleh yang lebih berkuasa kepada yang lebih lemah.
  7. Pekerja Anak , Membiarkan anak bekerja lebih dari 4 jam dalam sehari atau dengan pekerjaan yang membahayakan fisik & mentalnya.

Dampak Kekerasan Terhadap Anak :

  1. Anak menjadi mudah curiga, tersinggung, pesimis, dan menarik diri
  2. Risiko kecanduan narkoba dan depresi
  3. Potensi menjadi pelaku kekerasan di masa depan
  4. Pertumbuhan emosional terganggu, kehilangan kepercayaan diri
  5. Kesulitan membangun hubungan sosial yang sehat

Anak diperbolehkan untuk bekerja ringan dan sesekali untuk membantu orang tua boleh dilakukan dengan syarat:

  1. Tidak lebih dari 4 jam per hari
  2. Tidak mengganggu hak anak untuk bermain, belajar, beristirahat
  3. Tidak membahayakan keselamatan fisik maupun mental anak

Penulis Modul : Childfund International di Indonesia

Perangkum Modul : Gladys – Doc.Seketariat YSBS @2025


Share this article