Setelah mengikuti retret awal sebagai langkah pertama yang berani meninggalkan tanah kelahiran mereka dan memulai perjalanan baru di Cilacap, pada Rabu, 9 Juli 2025 pukul 00.00 WIB, kami menjemput para gadis Papua di Sidareja untuk mengikuti tahap berikutnya, yaitu Retret Penyembuhan Luka Batin (PLB) di Lembah Carmel, Cikanyere, Cianjur. Kami akan tinggal di Cikanyere hingga 13 Juni 2025. Retret ini merupakan ruang antara, jeda yang hangat dan reflektif sebelum mereka benar-benar memasuki rutinitas dan kesibukan dunia sekolah.
Di sini, mereka tidak hanya diberi waktu untuk beristirahat, tetapi juga diajak menyelami diri sendiri, mengenal siapa diri mereka lebih dalam, menggali mimpi-mimpi yang mungkin tersembunyi, dan merencanakan langkah masa depan. Suasana retret Penyembuhan Luka Batin bukan sekadar rangkaian aktivitas, melainkan ruang aman untuk bercerita, berbagi, dan saling menguatkan. Dalam suasana sejuk, indah, dan tenang Lembah Carmel, proses menemukan sisi lain dari kepribadian diri pun dimulai. Ini adalah proses refleksi yang kadang terasa melelahkan dan memakan waktu. Menghadapi sesi demi sesi membuat kami harus melawan kantuk dan kebosanan. Meski diselingi pujian dan ice-breaking yang menyenangkan, saya melihat teman-teman Papua yang cantik ini merasa tidak nyaman dan gelisah. Itu proses yang wajar. Saya pun merasakannya saat pertama kali mengikuti retret ini.
Dalam sesi Penyembuhan yang dipimpin oleh para Suster dari Kongregasi Putri Carmel dan Kongregasi Carmelitae Sancti Eliae (CSE) yang didirikan oleh Romo Yohanes Indrakusuma, beberapa dari mereka mulai membuka luka lama, perasaan kehilangan, perasaan ditinggalkan, pengalaman kekerasan, atau kecemasan meninggalkan kampung halaman. Dalam suasana penuh penerimaan, air mata menjadi bagian dari proses penyembuhan. Dalam retret ini kami diajak menggali masa lalu yang menyakitkan dan diajak untuk memaafkan situasi atau siapa pun yang pernah menyakiti kami. Kami diajak mengenal lebih dalam KASIH ALLAH yang menerima kami apa adanya. Kesadaran bahwa Allah mencintai dan menerima kami secara cuma-cuma diharapkan membangun kepercayaan diri. Saat saya mengajak mereka bercerita malam itu setelah prosesi pembasuhan kaki, mereka dengan gembira mengungkapkan perasaan. Masing-masing mengatakan bahwa tiba-tiba terasa ringan dan seperti ada “sesuatu” yang keluar dari diri mereka.
Perjalanan menuju retret juga menjadi ruang untuk mengungkapkan identitas dan budaya mereka. Dalam kendaraan sepanjang perjalanan, mereka menyanyikan lagu-lagu dari Papua. Muncul rasa bangga karena bisa menyanyikan lagu tradisi mereka. Suara merdu Aknes, Fiktoria, dan teman-teman mereka menghibur kami sepanjang perjalanan pergi dan pulang ke Lembah Carmel. Mereka larut menyanyikan lagu-lagu dari timur dan lagu-lagu tahun 1980-an. Meski anak-anak muda di Jawa mungkin tak mengenal lagu-lagu tahun 80-an itu, mereka menyanyikannya dengan sangat indah. Mereka menyanyikan lagu Betharia Sonata dengan lancar.
Dengan para pendamping yang penuh perhatian dan teman-teman baru dari berbagai latar belakang, para gadis Papua mulai membangun kembali kepercayaan diri dan harapan. Mereka tampak percaya diri bertemu banyak orang baru di Lembah Carmel. Mereka bersemangat saat bertemu dengan beberapa calon imam dan suster dari Indonesia timur. Mereka juga berkenalan dengan beberapa peserta retret lain yang berasal dari Flores. Retret ini bukan hanya tentang persiapan akademik, tetapi lebih dari itu: tentang penyembuhan hati, penguatan identitas, dan kesiapan menghadapi hidup jauh dari rumah, di lingkungan baru, yang penuh tantangan dan peluang. Hampir semua dari mereka awalnya mengeluh saat tahu sesi retret akan panjang dan melelahkan. Tetapi setelah sesi pembasuhan kaki dan munculnya “sesuatu” dari dalam diri mereka, mereka merasa lebih ringan dan bebas.
Retret PLB menjadi titik penting dalam perjalanan mereka, bukan akhir, melainkan awal dari proses pertumbuhan yang lebih utuh, sadar, dan bermakna. Membawa warisan budaya dan semangat baru, para gadis Papua kini lebih siap melangkah ke dunia yang lebih luas, tanpa kehilangan akar yang membentuk siapa diri mereka. Pesan orang tua mereka adalah bahwa mereka tidak boleh pulang sebelum berhasil menggapai mimpi di tanah rantau.
“Anak-anak, jangan pulang sebelum berhasil meraih mimpi.” Itulah pesan orang tua mereka saat melepas anak-anak mereka dari tanah kelahiran. Meski perpisahan itu berat, mereka rela melakukannya demi masa depan yang lebih baik. Mereka ingin anak-anak mereka belajar sungguh-sungguh, bertahan dalam suka dan duka, dan suatu saat kembali ke rumah dengan kebanggaan. Pesan ini menjadi pegangan di setiap langkah: tetap semangat, tetap kuat, dan terus mengejar mimpi. Itu bukan sekadar kalimat, tetapi tanggung jawab yang harus dibuktikan.
Retret Penyembuhan Luka Batin yang kami jalani bersama putri-putri Papua adalah momen penuh harapan dan kebaruan. Namun, di tengah sukacita itu, satu wajah tidak hadir. Klara Kawon, salah satu anak yang datang jauh dari Papua, terpaksa harus tinggal di asrama. Bukan karena keinginannya, melainkan karena tubuhnya menunjukkan tanda-tanda tidak sehat sejak keberangkatan. Demamnya naik turun. Kami menduga malaria, penyakit yang masih cukup umum di daerah asalnya. Kekhawatiran ini membuat kami mengambil keputusan sulit: membiarkan Klara tinggal dan tidak ikut retret. Bukan karena kami mengabaikannya, tetapi karena kami ingin memastikan ia mendapat perawatan yang tepat dan aman.
Pada Kamis, 10 Juli 2025, bersama Pak Eko, perwakilan dari sekolah, Klara dibawa ke Klinik Pratama Yos Sudarso di Sokaraja. Di sana, ia diperiksa langsung oleh dr. Tati. Setelah serangkaian pemeriksaan, akhirnya kami menghela napas lega. Ternyata bukan malaria. Kondisi fisiknya melemah karena tekanan psikologis yang berat. Dokter menyimpulkan bahwa Klara mengalami stres berat yang memengaruhi asam lambungnya.
Mendengar hal ini, hati kami bergejolak. Ada rasa syukur karena penyakit yang dikhawatirkan tidak terbukti. Namun di sisi lain, kami sadar bahwa perjalanan anak-anak ini lebih dari sekadar pindah tempat. Ini melibatkan beban, ketegangan, dan penyesuaian yang sulit. Tubuh Kelara mungkin sedang berbicara padanya, menyuarakan perasaan yang belum sempat ia ungkapkan.
Meskipun ia tidak ikut retret ini, doa kami menyertai proses pemulihannya. Kami percaya setiap anak memiliki waktu dan jalannya sendiri. Dan ketika saatnya tiba, Klara akan kembali berdiri, kuat, dan siap berjalan bersama teman-temannya.

Foto bersama di halaman Asrama Putri SMK Yos Sudarso Sidareja

Foto bersama di halaman Asrama Putri SMK Yos Sudarso Sidareja

Sesi dalam retret Penyembuhan Luka Batin

Rafela dan Viktoria membagikan pengalaman mereka selama sesi Pembasuhan Kaki.
Mereka mengungkapkan bahwa sebelumnya mereka tidak mengenal retret Penyembuhan Luka Batin, karena kegiatan seperti ini belum pernah diadakan di Papua. Yang mereka tahu sebelumnya hanyalah kegiatan rekoleksi.
Namun, dalam retret ini, mereka mengalami sesuatu yang sangat berbeda. Dalam suasana doa dan refleksi yang mendalam, mereka mulai menyadari bahwa mereka menyimpan kepahitan dan luka mendalam, terutama terhadap orang tua mereka ayah dan ibu yang sering menghukum mereka dengan keras.
Pengalaman ini menjadi titik awal bagi Rafela dan Viktoria untuk membuka hati, mengakui luka batin mereka, dan memulai proses pengampunan serta penyembuhan secara spiritual dan emosional.

Setelah hari yang panjang dan melelahkan, kami berhenti makan malam di Rumah Makan Ampera di Bandung. Sambil menunggu hidangan hangat khas Sunda, kami melihat wajah-wajah lelah, namun tetap dihiasi senyum. Meskipun tubuh terasa letih, suasana kebersamaan dan rasa syukur menghangatkan hati. Senyuman-senyuman itu seolah menceritakan kisah, kisah perjuangan hari itu dan keindahan sederhana dari kebersamaan.
Penulis: PACE TIM
No Comments